“Jalan menuju kemuliaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kerang mutiara yang tabah menahan derita.” (hal 28).
Dalam kacamata masyarakat, kehidupan di pesantren identik dianggap sebagai sangkar burung—karena kehidupan di pesantren memiliki banyak aturan-aturan. Setiap santri diajarkan untuk memiliki sikap disiplin, tanggung jawab dan mandiri. Namun di balik pembelajaran tersebut sebenarnya kehidupan di pesantren itu penuh dengan nilai-nilai kehidupan yang tangguh dan luar biasa.
Karena selain berposes menjadi orang-orang yang berilmu, nilai-nilai kemanusian serta adab-adab kehidupan juga diajarkan sedemikian rupa. Pembelajaran di pesantren bisa dibilang sebagai salah satu cara mencetak generasi tangguh. Sebagaimana yang dicontohkan KH Hasyim Asy’ari—tokoh pendiri Nahdlatul Ulama—di tangan beliau, santri-santri tidak hanya berkutat dengan sarung dan kitab kuning. Namun para santri juga belajar strategi, ilmu beladiri yang dimanfaatkan untuk ikut bersumbangsih berjuang melawan para penjajah. Maka tidak heran untuk menghargai jasa para santri, maka sejak tahun 2015, tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional—yang mana pada tanggal tersebut pada masa dulu bertepatan dengan seruan yang dikukakn KH. Hasyim Asy’rari untuk berjihad.
Buku ini merupakan salah satu cara penulis dalam upaya mengenalkan tentang betapa menyenangkannya bisa mengenyam pendidikan di dunia pesantren. Dengan paparan yang lugas, santai dan mudah dipahami, penulis mencoba menjelaskan kenapa anak harus belajar di pesantren, serta cara jitu agar bisa betah di pesantren. Karena di sadari atau tidak, meskipun saat ini minat orangtua dalam memasukkan anak-anak mereka di pesantren, tetapi pada kenyataanya masih banyak anak yang belum bisa beradaptasi, mereka tidak betah dan berbagai persoalan lainnya.
Menurut hemat penulis dengan belajar di pesantren, kita bisa belajar menjadi sosok tangguh dan disiplin. Mengingat kehidupan di pesantren memang bisa dibilang penuh tantangan. Di mana setiap hari kita dianjurkan bangun pagi-pagi, harus ikut salat jamaah, ikut pengajian dan berbagai kegiatan lainnya. Dan hal itu tentunya tidak mudah. Apalagi jika kita belum terbiasa melakukan semua itu.
Kemudian belajar di pesantren mengajak anak untuk bersikap tanggung jawab. Artinya selama belajar di pondok pesantren, kita harus bisa benar-benar menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi kewajiban kita dengan baik dan penuh tanggung jawab. Tanpa adanya tanggung jawab, seorang santri tentunya tidak akan betah belajar dan memilih untuk pulang.
“Di pesantren ada sisi lain-lain yang tidak bisa dihitung dengan angka. Yaitu pelimpahan amanat dan tanggung jawab.” (hal 85).
Selain itu belajar di pesantren adalah salah satu cara mendidik anak menjadi pribadi yang mandiri. Mengingat ketika kita sudah belajar di pesantren, untuk urusan melakukan sesuatu kita tidak bisa bergantung pada orangtua atau pembatu. Misalnya untuk masalah mencuci baju, menyetrika, memecahkan masalah sendiri dan berbagai kegiatan lainnya harus kita lakukan sendiri.
“Santri dilatih untuk siap menghadapi kesulitan. Ditempa untun kreatif mengaktifkan otaknya dan memecahkan masalahnya.” (hal 52).
Selain itu masih banyak manfaat yang bisa diperoleh ketika anak belajar di pesantren. Dan salah satu cara terbaik agar anak bisa merasa betah, adalah siap melawan rasa jenuh—dengan cara mengisi kegiatan yang disukai, misalnya membaca, olahraha dan lain sebainya. Ada lagi yaitu siap menjinakkan waktu—artinya kita harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin dengan tidak menunda waktu, mencatat semua tugas dan banyak lagi.
Secara keseluruhan buku ini sangat membantu orangtua dan juga anak yang ingin belajari di pesantren. Membaca buku ini kita bisa menemukan banyak sekali wawasan yang menarik dan inspiratif. Saya sendiri paling suka bagaimana penulis mengajak kita belajar dari alam di sekitar kita. Misalnya belajar dari elang atau buah kepala. Di mana melalui keduanya kita diajarkan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat.
Srobyong, 13 Oktober 2019
Ratnani Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara