Resensi Novel Saat Kita Jatuh Cinta (Cara Remaja Menyelesaikan Masalah)

Resensi Novel Saat Kita Jatuh Cinta (Cara Remaja Menyelesaikan Masalah)

Setiap orang memiliki masalah masing-masing. Termasuk kehidupan para remaja yang masih memakai seragam putih abu-abu. Kisah mereka tidak kalah kompleks dari masalah orangtua atau orang dewasa. Apalagi masalah itu bisa jadi adalah dampak bagaimana sikap dan perilakuk yang ditunjukkan orangtua. Contoh sederhananya adalah dampak sikap anak dari keluarga broken home—orangtua yang pisah karena perceraian atau dampak hidup anak akibat orangtua yang tidak akur dan selalu cekcok.
Mengambil tema tentang kehidupan remaja yang dipadukan dengan masalah kehidupan akibat latar keluarga yang bermasalah pun asam manis urusan jatuh cinta, novel menarik untuk kita baca. Diceritakan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak bertele-tele, Aiu Ahra berhasil menghidupkan kisah ini dengan apik dan menarik. Membaca kisah ini pembaca anak diajak menyusuri setiap jejak langkah masa putih abu-abu dengan berbagai varian rasa—dari rasa sedih, gemas, menggkelkan hingga mengharukan.
Biru ingin segera menjadi sosok dewasa. Karena ketika ia dewasa, maka ia bisa menyetir sendiri hidupnya. Ia bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang, dan tidak lagi merindukan orangtuanya. Berbeda dengan Biru, Agya benci sekali dengan orang dewasa. Menurutnya orang dewasa adalah sosok yang egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Memiliki sudut pandangan yang berbeda, mereka bertemu dan sama-sama merasakan asam manis virus merah jambu.
Pertemuan Biru dengan gadis berjilbab biru, entah kenapa begitu menarik perhatiannya. Biru sangat senang ketika akhirnya ia bisa menyapa dan saling bercakap meski hanya di Transjakarta. Akan tetapi kesenangan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba ia mengetahui, bahwa sosok itu bukanlah orang yang patut ia cintai. Ada jarak jauh yang tak bisa membuat Biru menggapainya. Di sisi lain, Agya diam-diam ia selalu memerhatikan Biru, teman satu kelasnya itu sangat berbeda dengan kebanyakan teman lainnya. Biru selalu diam dan jarang berbicara. Akan tetapi beberapa kejadian telah menumbuhkan rasa simpati dan bakan berbuah menjadi virus cinta. Karena di balik sikap diamnya, Biru beberapa kali pernah menolongnya.
Sayangnya cinta tidak semanis yang mereka kira. Belum lagi Biru dan Agya juga harus menghadapi kenyataan tentang keluarga mereka. Sejak perceraian orangtuanya, Biru dirawat oleh kakeknya. Sang ibu lebih memilih keluarga barunya dan meninggalkan Biru. Sedangkan ayahnya, meski sesekali sering mengunjungi Biru, tetap saja ia sungkan dengan istri baru ayahnya. Pun dengan Agya, di balik sikapnya yang ramah, ia juga harus menanggung beban melihat percekcokan yang selalu dilakukan ayah dan ibunya. Yang lebih parah orangtuanya tengah menyusun rencana untuk bercerai.
Secara keseluhan novel ini sangat seru. Bagaimana cara Biru dan Agya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terus menghimpit, cukup menarik untuk kita simak. Bahwa meski mereka masih seorang remaja tanggung, beban hidup mereka tidak jauh berbeda dari masalah yang tengah dihadapi orang dewasa. Mereka sama-sama berjuang untuk tetap tegar dan menghadapinya dengan sabar.
Membaca novel ini kita, tidak melulu disuguhi masalah cinta yang biasa. Karena novel ini pun kaya akan nilai-nilai kehidupan. Bagaimana tidak di sini kita disadarkan bahwa dalam hidup kita tidak bisa selamanya terkurung dalam lubang masa lalu. Masa lalu yang tidak bisa kita lepas hanya akan membuat kita tidak bisa bergerak maju. “Karena orang yang tenggelam dalam masa lalunya nggak akan bisa berjalan maju, nggak ada bedanya sama anak kecil yang gagal dewasa.” (hal 220)
Di sini kita juga belajar, bahwa kita harus menjadi pribadi yang kuat. Kita tidak bisa hidup dengan mengandalkan kata jika atau seandainya, karena hal itu hanya akan menghambat langkah kita. “Kamu nggak akan bisa maju kalau berpatok sama kata ‘seandainya’, Agya. ‘Seandainya’ itu cuma kata-kata buat pengecut.” (hal 276).
Masih banyak hal yang bisa kita ambil melalui novel ini. Seperti ajakan untuk membuka diri, berani mengeluarkan pendapat, kemandirian dan banyak lagi. “Yang mendewasakan seseorang bukan usianya, tapi bagaimana cara seseorang itu memandang permasalahan hidup. Juga bagaimana waktu yang memprosesnya menjadi lebih matang dari hari ke hari.” (hal 293).
Ratnani Latifah, Srobyong, 29 Februari 2020

Bebas Ongkir, Belanjanya #dirumahaja

April 3, 2020

Resensi Novel Bidadari Bermata Bening (Belajar Memaknai Kesabaran dan Keikhlasan Melalui Novel)

April 3, 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *