Orangtua sebagai madrasah pertama, sudah semestinya memahami pentingnya membangun pendidikan karakter anak sedini mungkin. Karena pendidikan yang baik yang sudah tertanam sejak kecil, pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi sikap anak—baik itu dalam perkembangan emosional, spiritual juga kepribadian anak. Salah satu cara dalam mengenalkan pendidikan karakter kepada anak adalah dengan memberikan buku-buku bacaan yang membangun, memotivasi dan menginspirasi anak.
Untuk anak usia dini kita bisa memilih buku-buku bergambar. Sedangkan untuk anak setingkat sekolah dasar kita bisa mulai mengenalkan dengan buku kumpulan cerpen atau juga novel—baik novel misteri atau novel petualangan. “Si Anak Pintar”, salah satu dari Novel “Serial Anak Mamak” yang ditulis Tere Liye, meski buku ini bisa dibaca semua umur, tetapi pada dasarnya buku ini juga sangat pas untuk dibaca bagi anak—baik tingkat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Membaca buku ini, selain akan terhibur dengan petualangan seru yang dialami para tokoh, di sana kita juga akan menemukan banyak petuah dan pendidikan karakter yang membangun nilai-nilai moral positif. Sebagaimana “Serial Anak Mamak” lainnya, setting cerita yang diangkat penulis masih tidak jauh dari daerah pedalaman.
Kisah kali ini sendiri berpusat pada tokoh bernama Pukat. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Syahdan dan Nurmas. Pukat merupakan anak paling pintar dan cerdas di keluarganya. Maka tidak heran jika dalam setiap mata pelajaran Pukat bisa menjawab semua pelajaran dengan benar. Namun sebagaimana anak kecil pada umumnya, Pukat juga memiliki sikap nakal dan rasa penasaran yang tinggi terhadap hal-hal di sekitarnya. Ia melakukan hal-hal yang kadang dilarang orangtuanya, bertengkar dengan teman-teman sepermainannya dan banyak lagi. Namun meski begitu, Pukat juga sosok yang memilikir rasa tanggung jawab tinggi dan tidak segan membantu orang-orang di sekitarnya.
Pernah suatu kali, Pukat lupa tidak membawa bolpoin cadangan. Padahal di sekolah ada peraturan bahwa setiap murid tidak boleh meminjam alat tulis dari teman-temannya di sekolah. Akibatnya ia harus segera membeli bolpoin baru untuk menyelesaikan ulangannya. Akan tetapi siapa sangka, saat itu satu-satunya toko yang ada di dekat sekolah tutup. Ibu Ahmada, pemilik warung harus merawat putrinya yang sedang sakit. Di sinilah Pukat belajar tentang arti kejujuran. Karena pada saat itu Ibu Ahmad memberi izin Pukat untuk mengambil bolpoin sendiri di warung tanpa ada pengawasan.
“Jangan pernah berikan kesempatan niat jahat itu datang. Sekali-kali jangan. Karena sekali kalian terbiasa, maka kalian dengan mudah bisa berbuat lebih jahat lagi.” (hal 144).
Selain itu ada pula kejadian di mana Pukat dan bertengkar dengan Raju, padahal mereka adalah sahabat yang sangat kental. Mereka tidak saling menyapa selama beberapa waktu. Meski sudah dinasihati Pukat masih tetap keras kepala. Kejadian itu menyadarkan Pukat tentang pentingnya arti persahabatan. “Hanya seorang pengecut yang memulai pertengkaran, tapi tidak pernah mau berdamai. Tida punya cara untuk mengakhiri baik-baik.” (hal 97).
Ada pula kejadian tidak kalah menarik di mana Pukat harus ikut membabat hutan dan menanam padi di sawah. Orangtuanya mengajarkan kepada Pukat untuk lebih menghargai betapa sulitnya memperoleh nasi. Sehingga ia tidak dengan mudah membuang-buang nasi atau tidak menghabiskan nasih yang sudah susah payah dimasak ibunya. Masih banyak berbagai berbagai kejadian seru, menegangkan juga lucu yang dialami Pukat dan pastinya akan menghiburkan kita.
Secara keseluruhan novel ini sangat menarik. Apalagi kisah ini dipaparkan dengan apik oleh penulis, bahasanya mudah dipahami dan kejadian-kejadian yang ada pun sangat dekat dengan keseharian kita. Secara tidak langsung dalam novel ini kita bisa menemukan nasihat penting tentang arti kejujuran, selalu bersikap baik kepada sesama, menghormati orangtua, setia kawan, rajin sekolah, saling menyayangi antara sesama selalu memiliki cita-cita tinggi dan banyak lagi.
“Tidak ada yang paling menyedihkan di dunia ini selain kehilangan kejujuran, harga diri dan martabat.” (hal 159)