Nuim “I Love You Mr. Mahmud” Khaiyath lahir di Medan, Sumut, penghujung tahun 1938, sebagai anak bungsu, putra ke delapan dari pasangan suami istri Mahmud Muhammad Khaiyath dan Thaibah Ilyas.
Ia menyelesaikan pendidikan SD-SMP-SMA di sebuah sekolah yang dikelola oleh kalangan masyarakat Sikh (India – dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris) bernama Khalsa English School. Ujian tahun terakhir di sekolah ini diselenggarakan oleh Universitas Cambridge di Inggris.
Selesai dari Khalsa Nuim meneruskan kuliah di Fakultas Sastra Inggris Universitas Islam Sumatera Utara.
Sebagaimana dikisahkannya dalam buku ini, ia kemudian melakukan “perantauan” ke berbagai negara dan benua, sebelum kembali ke Medan untuk menyelesaikan kuliahnya.
Ia kemudian sempat menjadi wakil pemimpin redaksi, sekaligus redaktur pelaksana koran berbahasa Inggris di Medan, The Deli Times.
Tahun 1964 Nuim berhasil terpilih sebagai satu-satunya dari sekian banyak pelamar yang dianggap memenuhi syarat untuk bekerja di siaran bahasa Indonesia badan siaran Inggris, BBC (British Broadcasting Corporation) di London, dengan kontrak untuk masa tugas 3 tahun dan kemudian dapat diperpanjang sampai 5 tahun.
Tahun 1966 Nuim ditugaskan meliput pertandingan Piala Dunia Sepakbola yang waktu itu dikenal dengan nama Piala Jules Rimet dan diselenggarakan di Inggris. Laporan-laporannya dari London kemudian disiarkan kembali oleh RRI Pusat agar dapat didengar oleh lebih banyak pencandu bola di Tanah Air. Untuk jerih payahnya itu BBC menganugerahkan kepadanya bukan saja penghargaan tertulis melainkan juga bonus uang, sesuatu yang tidak lazim dilakukan badan siaran Inggris tersebut.
Namun sesudah kontrak pertama selesai Nuim memutuskan untuk pindah ke siaran bahasa Indonesia Radio Australia yang merupakan bagian dari siaran luar negeri Australian Broadcasting Corporation/ABC yang berkedudukan di Melbourne.
Setelah kontrak 3 tahunnya selesai Nuim ditawari lagi oleh BBC agar bergabung kembali dengan mereka. Begitulah menjelang akhir tahun 1970 Nuim kembali ke BBC, namun ternyata ia kurang betah di London sesudah 3 tahun di Melbourne. Ia mengundurkan diri dalam tahun 1972 dengan maksud untuk kembali ke Medan, namun tergoda oleh tawaran dari Radio Australia agar kembali ke haribaan mereka. Dan, Nuim akhirnya mendarat kembali di Melbourne.
Masa jabatan keduanya di BBC, meski hanya 18 bulan ternyata cukup mengesankan, karena ketika meliput turnamen bulu tangkis All England Badminton Championship, Nuim kembali mendapat penghargaan khusus, kali ini dari pemerintah Indonesia melalui Departemen Pemuda dan Olahraga yang melayangkan radiogram penghargaan kepada Kedutaan Besar R.I. di London untuk disampaikan kepadanya di BBC. Laporan-laporan Nuim tentang turnamen yang waktu itu dimenangkan oleh Rudi Hartono oleh RRI Pusat disiarkan kembali ke seluruh pelosok Nusantara. Jarang-jarang ada wartawan (broadcaster) Indonesia yang bekerja untuk suatu badan siaran asing/luar negeri mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.
Di Radio Australia Nuim dipercaya bukan saja untuk menyusun dan membawakan acara-acara dalam bahasa Indonesia, melainkan juga dari waktu ke waktu dalam bahasa Inggris.
Misalnya ketika Presiden Soekarno wafat, Nuim dipercaya oleh Radio Australia untuk menyusun dan membawakan suatu kenangan (obituary) mengenai Bung Karno dalam bahasa Inggeris.
Nuim juga kemudian diminati banyak pendengar di Indonesia bukan saja karena acara-acara hiburan/musik yang dibawakannya, melainkan juga acara-acara kupasan/ulasan politik, seperti “Perspektif” yang kemudian sebagian dari naskahnya dibukukan oleh penerbit Cakrawala dengan judul “Dunia di Mata Nuim Khaiyath”. (Cakrawala juga menerbitkan karyanya berjudul “Membongkar Kesaktian Israel”, yang terbit dalam tahun 2014. Nuim juga menulis buku yang “Paling Besar – Petinju Muhammad Ali” dan “Ini Medan, Bung!”)
Melalui acara musiknya “Samba” (Sabtu Gembira) Nuim mendapat julukan “I Love You Mr. Mahmud”, petikan dari lagu kocak oleh anak Jatinegara Munif yang menggubah lagu itu untuk menyaingi lagu Libanon yang pernah kondang di mancanegara, termasuk Indonesia, “Ya Mustapha”.
Tahun 1999 Nuim sempat menjadi finalis dalam anugerah jurnalistik tertinggi di Australia “The Walkley Award” berkat laporannya mengenai peristiwa lengsernya Presiden Suharto.
Tahun 2003 Nuim memperoleh penghargaan dari Ratu Elizabeth II (sebagai Ratu Australia) karena jasa-jasanya dianggap layak untuk menerima Public Service Medal, antara lain karena Nuim sering memberikan ceramah-ceramah mengenai Indonesia dan Islam kepada masyarakat di Australia dan melalui penampilannya di Radio Australia menerangkan dan menjelaskan tata cara kehidupan rakyat Australia kepada siding pendengarnya di Indonesia secara apa adanya – Without Fear or Favour.
Nuim sempat berkali-kali tampil untuk menyampaikan makalah dalam forum-forum internasional yang membicarakan perihal keradioan, termasuk Simposium Radio Swasta Niaga di Indonesia yang dihadiri lebih 600 kerabat radio di Tanah Air, dengan judul “Bahasa Indonesia Yang Benar dan Baik Dalam Kerangka Efektifitas Penyampaian Pesan kepada Pendengar Radio.”
Nuim juga kolomnis yang telah menulis ratusan “cerita” untuk majalah-majalah masyarakat Indonesia di Victoria/Australia, seperti Majalah Ikatan Warga Indonesia di Victoria (Ikawiria), Ozip dan JAIA (Journal of Australian-Indonesian Association in Australia). Sandiwara-sandiwara dalam bahasa Inggeris yang ditulisnya – Tamarind from The Mountain, The Story of Hang Tuah dan beberapa lainnya – pernah dipentaskan.
Sejak beberapa dasawarsa ini Nuim secara tetap digilir menjadi khatib dalam salat Jum’at di Universitas Melbourne, Universitas Monash, KJRI Melbourne, Masjid Indonesia (Westall) dan masjid-masjid lain. Khutbah-khutbahnya selalu diseleraskan dengan keadaan yang sedang berkembang.
Nuim sering diminta tampil dalam seminar-seminar antar agama di Melbourne dan sekitarnya.
Your review is awaiting approval
Buku ini bercerita tentang perjalanan hidup penulis, Nuim “I Love You Mr. Mahmud” Khaiyath (begitu perkenalan penulis di bagian akhir buku😁). Cerita dibuka dengan permintaan seorang kolonel pada penulis untuk membunuh Perdana Menteri Malaya kala itu, Tunku Abdurrahman. Pengalaman-pengalaman hidup penulis sangat menarik untuk diikuti, beliau pernah menjadi redaktur pelaksana The Deli Times, koran berbahasa Inggris di Medan, dosen Jurusan Sastra di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), dan Sekretaris Umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) cabang Sumut, hingga akhirnya beliau meninggalkan kehidupannya di Medan dan pindah ke London karena diterima menjadi penyiar BBC (British Broadcasting Corporation) London.
Bak kata pepatah ‘sekali membuka uncang, dua tiga hutang terbayar’, sekali membaca buku ini dari awal sampai akhir, banyak cerita dan pengetahuan baru yang kudapat, karena selain perjalanan hidup penulis, juga
diselingi dengan sejarah terbentuknya syi’ah dan sunni, perang salib, hingga G30S/PKI. Dengan membaca buku ini aku jadi tau ternyata kata ‘assassin’ diambil dari bahasa Arab, ‘Al-hashishiyin’. Dulu, sebelum menjalankan tugas, para pembunuh suruhan pimpinan Syi’ah Ismailiyah diberi marijuana, yang dalam bahasa Arab disebut ‘hasish’ dan yang menghisap atau menggunakan ‘hasish’ disebut ‘al-hashishiyin’. Namun karena keterbatasan lidah orang Inggris, kata tersebut di Inggris-kan menjadi ‘assassin’ (yang berarti pembunuh) agar lidah mereka tidak keseleo.
Buku ini semakin mengasyikkan saja karena penulis selalu berhasil menyelipkan humor-humor tak terduga di sela-sela cerita. Recommended bgt pokoknya !
arifsetiadi92 –
Saking suka baca bukunya sampe gak sadar kalo ternyata alur dalam buku maju mundur, jadi harus baca ulang lagi dari awal deh.