BUKU BUYA HAMKA FALSAFAH HIDUP

Promo Spesial!
(4 customer reviews)

Rp93,000.00


Back Cover

Lahir, berjuang, dan akhirnya mati. Demikianlah kita menjalani hidup. Melalui buku ini, Hamka menguraikan tentang rahasia kehidupan dan perilaku manusia.

LIHAT VERSI E-BOOK

Kota Asal Pengiriman : Kota Jakarta Selatan

4 in stock

Description

Lahir, berjuang, dan akhirnya mati. Demikianlah kita menjalani hidup. Melalui buku ini, Hamka menguraikan tentang rahasia kehidupan dan perilaku manusia.

Akhirnya Buya sampai pada kesimpulan, “Islam memulangkan kekuasaan kepada Allah belaka, yang Esa di dalam kekuasaan-Nya. Itulah Tauhid, yang mengakui Tuhan hanya Satu. Setelah itu memandang manusia sama derajatnya. Tidak ada kelebihan si anu dan si fulan, semuanya sama di sisi Tuhan; kelebihan seorang diri yang lain hanyalah takwanya, budinya dan kecerdasan akalnya. Bukan karena pangkat atau harta kekayaan. Tangan si lemah dibimbing sehingga beroleh kekuatan. Diambil hak dari tangan yang kuat dan kuasa lalu dipindahkan kepada yang lemah, sehingga tegaklah perimbangan. Inilah hidup yang dikehendaki Islam. Inilah Falsafah Hidup yang kita kehendaki…”

Hidup seperti inilah yang menghasilkan ribuan orang mulia yang berguna di kehidupan dunia sampai akhirat. Dan, bila kita bisa mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menjadi “garam” dunia. Insya Allah.

Book Details

Weight 389 g
Dimensions 13.5 × 20.5 cm
Halaman

484

Tahun Terbit

2015

Author

Prof. Dr. Hamka

Publisher

Republika Penerbit

Reviews

4 reviews for BUKU BUYA HAMKA FALSAFAH HIDUP

  1. Raden Setiawan

    BUYA HAMKA DAN FALSAFAH HIDUP

    Pernah baca buku yang berjudul Falsafah Hidup? Ya, buku ini adalah salah satu karya dari Prof. Dr. Hamka rahimahullaah, atau biasa dikenal dengan nama Buya Hamka; seorang ulama besar Nusantara pada zamannya. Buku ini ditulis oleh beliau sebagai persembahan atau tanda terimakasihnya kepada sang guru -yakni K.H. A.R. Sutan Mansur (w. 1405 H/1985 M)- yang telah mencurahkan banyak ilmunya kepada beliau. Gurunya ini adalah suami dari kakak kandungnya yang bernama Siti Fatimah -namun berbeda ibu- dan sekaligus salah satu murid dari ayahnya, yakni Syaikh Dr. Abdul Karim Amrullah rahimahullaah. Jadi, bisa dibilang beliau adalah kakak iparnya.

    Buku ini pertama kali diterbitkan pada bulan Agustus 1940 M, yakni 5 tahun sebelum bangsa kita merdeka. Dan saat itu, sang penulisnya genap berumur 32 tahun. Sebagaimana kebanyakan buku-buku beliau yang lainnya, buku ini juga diterbitkan di Malaysia; yakni oleh Pustaka Antara (2007), Pustaka Dini (2009), dan PTS Publications & Distributors Sdn. Bhd. (2016). Ketika membaca buku ini, tentu saja akan ada sebagian frase kata yang kurang kita pahami dengan utuh sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya. Karena memang, buku ini ditulis dengan diksi bahasa Indonesia yang dipakai saat itu, yang tentunya agak sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia yang kita pakai di zaman ini. Namun, terlepas dari masalah bahasa tersebut, bagi saya pribadi, isi buku ini tetaplah menarik, unik, dan tentunya bermanfaat.

    Secara umum, buku setebal 428 halaman ini -yakni terbitan Republika Penerbit Jakarta, cetakan 1, April 2015- membahas tentang rahasia kehidupan. Berkenaan dengan hal tersebut, pada bagian awal bukunya penulis mengatakan, “Inilah buku tentang hidup dan rahasianya, sopan santun dan budi di dalam Islam.” Alhamdulillaah, saya sendiri berkesempatan menuntaskan buku ini selama empat hari. Dan tentu saja, ada banyak mutiara hikmah dan bahan renungan yang saya peroleh setelah membaca buku ini. Berikut ini adalah diantara mutiara-mutiara hikmah tersebut, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan untuk kita bersama. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

    1. “Orang berakal selalu menaksir harga dirinya, menaksir harga diri ialah dengan menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah pula digunakan. Karena murah atau mahal harga diri, baik waktu hidup, apa lagi setelah mati, ialah menurut jasa yang telah diperbuat pada setiap hari yang dilalui itu. Dia sadar bahwa hari yang telah habis terbelanjakan untuk yang tidak perlu, tidaklah akan dapat ditebus lagi. Oleh sebab itu dilihatnya tahun berganti, bulan bersilih, dan hari berlalu. Dihitungnya baik-baik ke manakah dia telah pergi, apakah bekas kerjanya buat kemaslahatan dirinya sekurang-kurangnya, atau kemaslahatan kepada masyarakatnya.” (hal. 33-34)
    2. “Orang yang berakal tidaklah tersembunyi bagian cela dirinya, karena orang yang lupa memandang aib dirinya sendiri, akan lupalah kepada kebaikan orang lain. Maka lupa akan aib diri itu adalah bencana hidup yang sebesar-besarnya.” (hal. 39)
    3. “Suatu ilmu tidaklah lekat di dalam hati dan jiwa, tidaklah akan terpasang kepada diri kalau tidak diamalkan, dibiasakan, dan dicobakan. Dengan percobaan dan pembiasaan itu dia bertambah teguh, tetap, dan kekal, membawa terbuka pula beberapa ilmu yang lain yang lebih dalam, lebih lezat, dan lebih menarik hati. Seorang tukang batu yang telah bekerja selama 20 tahun dengan sungguh-sungguh, lebih dipercayai daripada seorang anak sekolah teknik yang baru pulang membawa diploma. Sebab ijazah seorang yang telah bekerja 20 tahun itu ialah bekas-bekas tangannya, bukan segulung kertas!” (hal. 48)
    4. “Ilmu yang dikungkung iman, yang menghargai kehidupan sesudah kehidupan yang sekarang, itulah pangkal bahagia. Kalau tidak demikian, walaupun sampai ke langit tinggi susunan kitab, apalah gunanya.” (hal. 70)
    5. “Setelah ilmu yang bersemangat iman itu teguh tumbuhnya di dalam dada, hendaklah diiringi dengan amal, kerja, dan usaha. Ilmu yang tidak diikuti amal tidaklah ada gunanya bagi hayat. Ilmu itu harus membekas ke luar diri dan kepada yang lain.” (hal. 70)
    6. “Ajar diri berjuang, menghadapi kesusahan, bencana dan bala, halangan dan rintangan, karena mesti demikianlah kerja kita dalam hidup. Semuanya ditunggu, dinanti dengan dada lebar dan tangan terbuka sehingga tidak terkejut. Jika yang datang yang lebih besar dan hebat. Sebesar-besar musuh yang datang dan bencana yang tiba, bentengnya telah ada, yaitu hati kita sendiri!” (hal. 101)
    7. “Banyak sekali kedapatan suatu kelompok mencela kelompok lain, melupakan kebaikannya dan membangkit-bangkit kesalahannya. Pokok pangkalnya hanyalah dari kebencian dan hasad dengki belaka. Segala kebaikan yang ada pada musuh, kita lupakan, tetapi kesalahannya kita besar-besarkan. Sehingga benci membutakan mata, menghilangkan keadilan. Seakan-akan orang yang dibenci atau dicela itu tidak mempunyai kebaikan sedikit juga.” (hal. 123)
    8. “Orang yang menghina orang lain berarti menghina dirinya sendiri. Sebab dengan perbuatannya menghina orang, sudah nyata lebih dahulu bahwa dialah yang hina. Orang yang tidak suka menghormati orang lain, artinya ialah orang yang tidak terhormat. Orang yang dihinakan belum tentu hina tidak. Tetapi perbuatan menghina sudah menjadi bukti atas kehinaan si penghina.” (hal. 124-125)
    9. “Cita-citalah yang menghilangkan rasa sakit, melupakan kepedihan, dan kesulitan. Sebab cita-cita itu sendiri adalah dinamo hidup.” (hal. 178)
    10. “Katakan terus terang apa yang terasa di hati, asal engkau yakin itu benar. Itulah sifat sederhana. Kalau telah yakin bahwa kita berdiri pada kebenaran, walaupun orang akan menolak, percayalah bahwa nanti akan diterimanya juga.” (hal. 188)
    11. “Besar dan kecil rumah tidak menjamin kebahagiaan. Yang menjadi jaminan ialah persetujuan antara yang mempunyai rumah tangga itu. Di antara suami dan istri. Sama-sama bersyukur menerima nikmat apa yang ada. Dan sama-sama berusaha, berjuang. Sama-sama tahu akan beratnya pikulan yang tertanggung di atas pundak masing-masing.” (hal. 230)
    12. “Siapa saja yang telah menanam jasa, satu saat kelak dia akan memperoleh hasil dari jasanya itu. Kemuliaan akan menjadi pengiringnya ke mana pun dia pergi atau berjalan di mukanya melapangkan jalan yang akan dilaluinya. Kalau orang yang sama hidup dengan dia melupakan, namun setelah matinya, orang yang kemudian akan membongkar kemuliaan itu kembali, dan menyatakannya ke muka khalayak.” (hal. 280)
    13. “Salah satu sebab terbesar dari kemunduran pikiran dalam Islam, sehingga terjadi paham jumud (membeku) dan statis ialah setelah timbul pendapat di abad ketujuh hijriah bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kita lebih baik taqlid saja. Padahal perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak mungkin hanya bertaqlid saja. Banyak soal-soal baru yang timbul dalam masyarakat yang tidak dapat dipecahkan kalau kita hanya bertaqlid saja.” (hal. 330)
    14. “Orang yang mempelajari Islam secara ilmiah tidak dipengaruhi oleh rasa sayang atau benci, akan dapat mengetahui bahwasanya Islam adalah meliputi seluruh kegiatan hidup manusia. Islam bukan semata-mata ibadah dari makhluk kepada Tuhan dan bukan pula semata-mata politik, hubungan antara seseorang dengan masyarakat dan bukan pula semata-mata urusan dari ulama atau kepala-kepala agama tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan.” (hal. 343)
    15. “Apabila orang tidak makan dan tidak minum terhentilah dia bernafas dan lemahlah tubuhnya. Tetapi apabila orang tidak memegang syariat rusaklah akal dan budinya dan binasalah hidup yang sejati yang menjadi tujuan dari hidup bernafas.” (hal. 402-403)
    ________________________
    Ditulis oleh: Raden Setiawan

  2. Nur Khusnul K

    Buya Hamka, ulama yang termasyhur pada zaman nya. Walaupun dahulu beliau sempat mendapatkan persekusi, namun namanya tetap diingat oleh banyak orang. Buku yang mengulas tentang falsafah hidup dari Buya Hamka yang tidak diragukan lagi keilmuan nya. Sosok tokoh yang mumpuni dalam bidang tasawuf, bahkan tafsir. MasyaAllah

  3. Luthfi A. Putri

    Falsafah Hidup – Prof. Dr. Hamka
    Buku ini sangat membuat candu untuk dibaca. Isinya yang begitu “bergizi” tentu sangat bermanfaat sekali untuk dijadikan renungan dan referensi dalam menjalani kehidupan. Seperti sesederhana dalam berpikir, meluruskan niat, dan ikhlas dalam melakukan sesuatu hal ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan bahasa yang apik. Prof. Hamka juga banyak menyisipkan kejadian-kejadian yang biasa terjadi di kehidupan sehari-hari sehingga membuat buku ini terkesan sangat mewakili dan bersifat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan kehidupan yang ada saat ini.

  4. septriyani25

    Falsafah Hidup, ini merupakan salah satu seri buku yang ditulis oleh Buya Hamka. Buku pertama karya beliau yang saya baca. Bahasa yang digunakan oleh Buya Hamka adalah bahasa literatur lama. Namun tetap mudah dipahami. Dari buku ini, saya sangat kagum dengan Buya Hamka. Wawasan beliau begitu luas, dan tingginya nilai-nilai yang beliau yakini dan amalkan.

    Ada beberapa filsafat hidup yang beliau jelaskan di dalam buku ini, yaitu:
    1. Filsafat pertama : Hidup
    2. Filsafat kedua : Akal
    3. Filsafat ketiga : Undang-undang alam
    4 . Filsafat ke empat : Adab dan Kesopanan
    5. Filsafat ke lima : Sederhana

    Dan masih ada beberapa lagi. Buku ini worth to read. Bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita, terutama menurut pandangan islam. Highly recommended!

Add a review

Your email address will not be published. Required fields are marked *