Perjalanan hidup seorang BJ Habibie melintas batas teritorial dan waktu. Bermula dari Parepare, lanjut ke Aachen, lalu ke Jakarta. Dari seorang ilmuwan, kemudian menjadi negarawan, dan kini minandito. Dan, buku ini akan menyajikannya berdasarkan fakta, bukan rekayasa.
Bj Habibie termasuk manusia pintar, genius dan mungkin dari 130 juta penduduk Indonesia (1980-an, red.) hanya akan ada satu seperti dia. Semua kata-kata itu memang bukan kata-kata kosong, meski bukan itu yang penting. Tidak juga karena ia pendiri industri pesawat terbang canggih yang tidak pernah dipercaya orang akan bisa dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Bukan itu, karena dengan rendah hati dalam kejayaan industri pesawat terbang dipimpinnya ketika itu, ia selalu berkata bahwa semua yang bisa disaksikan pada waktu itu, bukanlah hasil karyanya sendiri, melainkan karya dari seluruh putra-putri Indonesia yang bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), sekarang PT. Dirgantara Indonesia (PTDI).
BJ Habibie, bagaimanapun adalah seorang manusia yang lahir dengan segala fenomena yang menarik. Jiwa patriotnya tidak pernah luntur sampai menembus batasan-batasan waktu. Patriotisme baginya tidak hanya berkobar di masa perang kemerdekaan, tetapi juga dalam memasukkan kemampuan teknologi tinggi bagi bangsa dan negaranya. BJ Habibie merupakan sosok kontras kepemimpinan bangsa yang terlepas dari modal kekuasaan karena uang, keturunan dan politik. Dia juga bukan pemimpin yang dibangun dari kekayaan. Ini tidak seperti pemimpin lain. Habibie satu-satunya yang mampu memimpin karena sebuah kecerdasan (hlm xiv).
Sejak dulu BJ Habibie selalu konsisten dan optimis dengan program yang dilaksanakannya. Optimisme yang penuh perhitungan menjadi modal dan falsafah dalam kehidupannya, sekaligus merupakan salah satu faktor yang selalu menuntun kaariernya, baik sebagai ayah dalam keluarga maupun seorang eksekutif dalam pemerintah pada masanya. Dengan optimisme dan achievement-nya, BJ Habibie di sebut sebagai pembawa abad teknologi ke Indonesia atau sebagai Dinamo Indonesia (Brian Davidson, dalam buku Dari Parepare Lewat Aachen).
Ketika kembali ke Tanah Air untuk menyumbangkan ilmu yang diperolehnya kepada bangsa dan negaranya, bukanlah satu hal yang kebetulan. Seperti yang dikatakannya, semua itu terjadi karena ia sudah sadari dan jauh sebelumnya ia bersama teman-temannya di Eropa sudah mengatur strategi, jika kelak ia jadi pulang ke Indonesia, ia akan pulang dengan kawan-kawan yang sama tekad dan sama cintanya pada Tanah Air. Ini sudah lama dipersiapkan, dan apa yang dikatakannya itu benar terjadi.
Banyak orang bertanya bagaimana BJ Habibie bisa mengatur waktunya dengan seluruh jabatan yang terlalu banyak disandangnya itu. Jawabannya gampang, “Saya toh tidak harus setiap hari berada di PT PAL atau pulau Batam. Sehari dalam seminggu saya berada di IPTN atau Pindad. Asisten saya setiap saat dapat saya tanya dan melapor kepada saya. Saya bisa menghubungi mereka melalui telepon. Perkerjaan saya memang banyak jika dilihat dari deretan-deretannya. Tapi jika diperhatikan, semua itu hanya satu, yakni pengembangan teknologi. Dan, apa artinya semua ini jika dibandingkan dengan perkerjaan direktur utama perusahaan, seperti Mitsui atau Direktur Utama IBM yang memimpin perusahaan secara multinasional dengan karyawan ratusan ribu. Liat sesuatu dengan optimis,” kata BJ Habibie (hlm 128).
Kecintaan Habibie pada Tanah Air begitu besar. Tertanam kuat sejak masih mahasiswa dan tetap menyala hingga sekarang. Kedudukan yang prestisius, penghasilan yang besar ditinggalkan begitu panggilan untuk kembali datang. Lewat buku ini kita akan melihat perjuangan Habibie membangun Indonesia melalui teknologi.
Kisah cinta Habibie bersama Ainun menunjukkan sisi lain Habibie. Bila Romeo & Juliet menggambarkan “kekandasan” cinta, Habibie & Ainun menggambarkan “keberhasilan” cinta. Melalui buku ini kisah cinta keduanya diceritakan kembali mulai dari pertemuan hingga maut memisahkan mereka.
Kabar Madura, Akhmad Bukhari